Tuesday, October 11, 2011

Di Balik Didikan Orang Tua (Nilai Kejujuran)

Akhir-akhir ini saya sering sekali mendengar kata “Kejujuran”. Lebih sering dari biasanya. Dosen di kelas pun membahasnya di sela-sela pembelajaran mata kuliah. Terutama dosen Audit Keuangan Sektor Komersial saya. Tentunya bukan tanpa maksud beliau menyampaikan ini kepasa kami (mahasiswa). Memang sekarang ini amat mahal kejujuran itu. Mudah diucapkan namun begitu sulit dilakukan. Tapi entah mengapa saya selalu yakin jika kejujuran itu bukan bermuara pada “Keajuran” namun saya lebih setuju jika kejujuran bertemu kata “Makmur”. Jujur itu makmur bukan ajur.

Kalau mau mengingat-ingat lagi kata kepala sekolah saya di SMK, beliau sering berkata kepada saya, “Sekolah untuk menghasilkan orang pintar itu banyak sekali, namun sekolah yang menghasilkan orang jujur itu tidak ada”. Memang benar adanya. Kejujuran itu pada dasarnya adalah keinginan hati bukan dari luar. Jika hatimu gundah tatkala melakukan sesuatu yang tidak jujur, maka jangan sekali lagi engkau melakukan hal yang sama dan serupa. Ikuti kata hatimu, karena hatimu tidak pernah berbohong.

“Saya kalau di rumah menaruh uang di sembarang tempat, dan anak-anak saya tahu ada uang di mana-mana tapi mereka tidak mengambilnya. Jika mereka ada yang ingin dibeli maka mereka akan memberi tahu saya”, begitulah kurang lebih kata dosen saya. Ini mirip dengan budaya saya di rumah. Saya sangat mengagumi hal ini karena itulah yang diterapkan oleh orang tua saya di rumah. Tempat Bapak dan Ibu saya menyimpan uang, saya dan adik saya tahu. Adik saya kebetulan masih duduk di bangku SMA, jika Ibu menyuruh adik saya ke warung membeli keperluan dapur atau yang lain, beliau tinggal meminta si adik mengambil uang secukupnya di tempat biasa. Dan adik saya tidak pernah curang secara sembunyi-sembunyi mengambil lalu menyembunyikannya. Sungguh bersyukur saya hidup dikaruniai seorang adik yang jujur serta orang tua yang bijak serta hebat.

Ayah dan Ibu saya selalu mengajarkan kedua anaknya mempunyai sifat yang jujur. Mereka berdua selain menasehati, juga mendidik kami dengan memberi kepercayaan seperti itu tadi. Meletakkan uang di tempat yang semua kami (Ayah, Ibu, Aku, dan Adikku) tahu tempatnya. Uang yang disimpan pun untuk berbagai keperluan yang jumlahnya bukan angka yang sedikit karena untuk keperluan segala sesuatunya. Sampai saya berfikir dari mana Ayah dan Ibu saya mendapatkan metode ini. Mirip seperti “Warung kejujuran”. Mereka menerapkan metode ini dari saya kecil.
 
Keluarga (Ayah dan Ibu) guru yang hebat
Lantas saya menghubungkan dengan keadaan di sekitar kita saat ini. Saya di rumah mempunyai rasa memiliki yang begitu besar, rasa sayang saya kepada Ayah dan Ibu begitu besar, sehingga tidak ada niat saya mengambil uang untuk kepentingan saya. Hal ini karena saya melihat mereka membanting tulang mengumpulkan receh demi receh untuk menghidupi kami, jika saja saya tega mengambil uang mereka maka berarti saya akan melihat mereka berpeluh keringat, beratap sinar matahari, berselimut hujan lagi demi mengumpulkan uang. Dan uang yang tersimpan pun diperuntukkan sebagian besar untuk kami (aku dan adikku). Untuk biaya sekolah, untuk memenuhi perut kami, untuk keperluan kami yang setiap hari kami masih saja memberatkan mereka. Jadi saya sama sekali tidak mempunyai niat mengambilnya begitu pula adik semata wayang saya.

Metode yang ditanamkan Ayah dan Ibu saya lebih kepada penyadaran kepada saya dan adik saya. Mereka selalu menanamkan bahwa “Uang Ayah dan Ibu juga uang kalian”. Dari kecil kami dididik seperti itu. Sungguh hebat mereka, dengan kasih sayang mereka bisa mengajarkan kejujuran kepada saya dan adik saya. Hingga saat ini saya masih merasakan dampak didikan semacam ini walau saya jauh dari mereka. Rasa lega dan nikmat sekali ketika berbuat sesuai dengan ajaran mereka.

Baru-baru ini saya masih ingat, ada kejadian yang membuat saya jadi semakin berterima kasih kepada Ayah Ibu saya. Waktu itu saya dan kawan-kawan main futsal di dekat kampus. Tiba giliran membayarnya, mas si kasirnya menghitung uang yang saya sudah hitung pas, dihitung lebih. Ada sampai 5 kali dihitung lebih dan dikembalikan kepada saya. Waktu itu lebihnya 5.000, mas kasir menghitung tumpukan uang 1.000-an, 2.000-an dan receh dihitung 10.000. jadilah dikembalikan 5.000 padahal jumlahnya Cuma 5.000 ditumpukan itu. Saya menyadari hal itu dan saya katakan saja bahwa uang yang dihitungnya itu adalah 5.000. dan uang yang dikembalikannya saya kasih lagi. Di sini ada perasaan lega dan bahagia sekali di hati saya. Kenikmatan yang tidak ternilai dari didikan orang tuaku. Terima kasih Ayah Ibu, semoga aku bisa menjalankan nasehat-nasehat kalian.

Itu hanya satu cerita yang kuingat, masih banyak cerita lain yang samar-samar aku ingat. Di pasar waktu beli pakaian, di tempat si mbok jualan pecel, dan tempat-tempat lain yang sudah aku lupa. Bagiku kejujuran itu berasal dari keluarga. Aku sekarang merasa beruntung sekali, orang tuaku petani dan senantiasa mengajarkan hal-hal yang mungkin saja dianggap kecil, mulai dari kejujuran, kebaikan, dan empati ke sesama. Walau aku dilahirkan di keluarga sederhana tapi sekarang aku sadar sebenarnya aku terlahir di keluarga yang kaya nilai-nilai ketulusan dan kebaikan dari kedua orang tua yang sangat aku cintai.

Implementasi di hidupku kelak (di keluarga kecilku)
Didikan orang tuaku sangat menginspirasiku, aku ingin suatu saat memiliki keluarga yang manis, dan kaya akan nilai-nilai kebaikan. Aku bukan tipe orang yang menginginkan harta melimpah kelak. Aku lebih ingin melihat anak-anakku sukses di segala bidang, dimulai dari hidup sederhana namun terdidik. Nilai-nilai yang aku warisi dari kedua orang tuaku, kelak akan kutanamkan kepada anak-anakku.

Haha, koq jadi ngomongi anak sih. Kejujuran bagiku amat penting sekali. Hal kecil namun mempunyai peran besar dalam hidup kita. banyak kisah, film, novel, dan karya sastra yang mengangkat cerita tentang kejujuran. Edukasi bisa saja dari pengalaman seseorang, atau bisa dari penyadaran diri akan pentingnya kejujuran.

Kemunduran suatu bangsa tanpa kejujuran
Saya sangat yakin suatu bangsa akan bejalan mundur mencapai peradabannya jika diisi akan ketidakjujuran. Kejujuran juga produk dari rasa memiliki dan nasionalisme suatu bangsa. Jika kita merasa memiliki maka kita akan mustahil melakukan tindakan yang dapat merugikan negara ini. Ingat tadi didikan orang tuaku, “Uang Ayah Ibu juga uang kalian”. Untaian kata-kata itu selamanya akan menjiwaiku. Jika saja kita semua sadar dan benar-benar menghayati, “Uang negara adalah uangku juga” maka kosa kata Korupsi hanya akan menjadi padanan kata dalam kamus. Saya amat yakin hal ini.

Mulai dari sekarang mari kita semua tumbuhkan rasa memiliki akan bangsa ini. Mengapa bangsa Jepang bisa maju seperti yang kita saksikan saat ini? Karena bangsa Jepang benar-benar menghayati kata-kata, “Milik negara adalah milikku”. Jika hal itu sudah tertanam di benak kita maka kita akan berfikir berulang kali jika hendak merugikan negara karena itu sama saja merugikan negara.

Sadarkah kita tindakan merugikan negara pada dasarnya adalah menghambat perkembangan bangsa. Bangsa ini seharusnya sudah semaju China, masih saja belum mampu bangun dari jeratan korupsi. lagi-lagi rasa memiliki ini yang perlu kita tanamkan ke benak kita hingga penyadaran hati akan tumbuh. Norman Vicent Pealle mengatakan, “Ubahlah pikiranmu maka kau akan mengubah dunia”. Jangankan negara, dunia pun sanggup kita ubah.

Akhirnya saya hanya bisa mengajak rekan-rekan semua untuk mulai dari detik ini juga lakukan kejujuran demi kebersihan hati, kemajuan bangsa dan kemaslahatan kita semua. Semoga bermanfaat apa yang saya tulis, selamat melakukan hal baik untuk dirimu, keluarga, masyarakat dan bangsa ini. Salam kejujuran.

0 comments :

Post a Comment