Aaah.. mata ini begitu sulit terpejam, lenyap di malam
menghilangkan hari menyimpan kenangan hari ini. Tak seperti biasa, pukul 00.00
adalah waktu kedua kelopak mataku biasa bertemu satu sama lain namun tak jua
untuk malam ini. Kamar yang bersih, sarung bantal dan guling yang wangi dan
bersih, serta suasana yang nyaman juga tak memenangkan mataku untuk terkantuk
sekalipun. Terus saja terjaga seperti saat sang mentari sedang menampakkan
diri. Musik merayu-rayu mata ini untuk menyerah toh yang menyerah adalah si
tuan, ya, aku menyerah menyerahkan mata ini untuk terpejam lelap untuk
terbangun esok di pagi yang indah. Hingga tulisan ini lahir atas renungan yang
sekelebat datang, segera kunyalakan laptop untuk menuangkan semua isi renungan
ini agar bisa membekas dan bersuara sampai ke kita semua tidak hanya
bersembunyi di bilik pikiran ini.
Ada momen yang tak dapat dituju ketika tak seperti saat ini,
ada renungan dalam hati yang syahdu mengingatkan manisnya kenangan yang telah
berlalu. Entah apa gerangan, tiba-tiba ingin saja menuliskan tulisan tentang
pengandaian yang mungkin bisa jauh dari kenyataan namun ini bisa memberiku
sendikit gambaran dan seolah-olah menerawang jauh ke depan keadaan yang serupa.
Lantas renungan macam apa yang mengusikku hingga sepagi ini
aku asik menatap layar dan jari-jemariku asik menari-nari di atas keyboard? Tentu
saja ini begitu menyentuhku hingga aku tak mau menyianyiakan untuk
mempersilakannya bersembunyi di balik pikiranku semata. Pertama, pertanyaanku
tertuju untuk kita semua, “Pernahkan terbayang oleh kita semua, bagaimana
rasanya atau bagaimana kira-kira kita saat telah tiada?”. Mungkin pertanyaan
ini agak sedikit ngawur atau ngelantur tapi aku hanya ingin berbagi tentang
analogi yang sederhana namun akan menyita pemikiran kita untuk singgah, yaitu
tentang “Analogi Kematian”.
Kematian bagi sebagian kita memang terasa aneh bahkan
angker, toh jangan kita sanksikan, kematian akan menghampiri siapapun di dunia
ini. Salah satu yang pasti yang akan semua dari kita temui, hanya masalah waktu
saja. Kematian bagi sebagian kita mungkin saja adalah akhir dari semuanya namun
sebagian lagi mungkin berfikiran kematian adalah awal dari kehidupan baru namun
berbeda. Berbeda? Lantas apa bedanya? Bedanya adalah tempat yang baru mungkin
berbeda dengan yang lama, dunia yang kita tinggalkan. Teman yang baru mungkin
saja berbeda dengan teman yang kita tinggalkan, apapun bisa berbeda dan bahkan
bisa saja berbeda sama sekali. Namun hal yang kita tinggalkan adalah hal yang
akan kita rindukan. Nah, mari kita mulai analogi sederhananya. Pernah mendengar
orang insomnia? Atau sekedar seperti saya, yang begitu sulit memejamkan mata. Ya,
saat semua dari kita tertidur dan istirahat tetapi kita dalam kesepian masih
terjaga. Pertanyaan saya, apa yang Anda rasakan? Jawaban pertama yang muncul
adalah, kesepian. Ya, kesepian, kita hanya bisa membayangkan akan kenangan
seharian ke mana dan apa yang telah kita lakukan. Ingin sekali rasanya
melakukannya lagi, ada rasa begitu rindu saat kesepian, rindu akan orang-orang
di sekitar ktia, rindu akan keadaan di sekitar kita, rindu akan suasana yang
membuat kita semakin rindu. Apalagi rindu dengan orang-orang terkasih kita.
Seolah-olah di saat itu kita adalah satu-satunya makhluk
yang masih terjaga, tak ada kawan, tak ada orang-orang yang biasa kita temui. Sekali
lagi, kesepian dan rindu. Nah, kira-kira saat kita ditangisi di saat kematian
kita, saat orang-orang terkasih kita meneteskan air mata tiada henti hingga di
peristirahatan terakhir ktia, dan kita hanya bisa melihat tanpa bisa mengubah
keadaan. Mereka mengenang kita, mereka menceritakan kisah-kisah kita yang ada
baik kadang juga pahit, mereka terinspirasi oleh kita, mereka menangis tak kala
mengenang kita. Kita hanya bisa melihatnya, tanpa bisa mengubah apa pun, hanya
bisa memeluk mereka dengan tangisan pula, dengan ikut mengenang kisah-kisah
manis mau pun pahit kita.
Lambat laun kita akan mereka akan membaik, tidak lagi
mengenang kita sesering saat kita baru menginggalkan mereka. Mereka telah
kembali ke kehidupan normal mereka, tawa dan canda telah sedikit mulai
tersungging di bibir mereka, di saat itulah kita mulai merasa amat kesepian. Kesepian
yang panjang, mungkin tiada akhir. Ibaratkan opera, melihat mereka menangis di
awal membuat kita ikut menangis, lalu scene demi scene pun berganti, kisah
opera berubah jadi tawa dan kita ibarat kan ada di bangku penonton yang tak
bisa mengubah skenario opera tersebut.
Memang kematian bisa mengingatkan kita betapa Tuhan telah
memberi kita waktu dan kesempatan untuk menangis dan tertawa bersama
orang-orang yang kita kasihi, tanpa hanya bisa membisu tak bisa berlaku. Mungkin
Tuhan akan mengirimkan renungan ini ke relung masing-masing dari kita untuk
lebih mensyukuri betapa berharganya waktu yang telah kita miliki. Mulai dari
sekarang, marilah kita gunakan kesempatan dan waktu ini dengan mengubah tangis
orang-orang yang kita kasihi dan sayangi menjadi tawa yang tersemat abadi di
raut-raut wajah yang merindukan itu hingga tiba saat kita tak bisa berbuat hal
yang sama.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk memprovokasi, tulisan ini
hanyalah cucuran isi hati yang tersurat kata demi kata yang bisa hadir di
tengah-tengah kita. Semoga renungan semacam ini menjadikan saya tertutama
menjadi pribadi yang lebih bijak, tentunya untuk kita semua agar lebih memberi
makna hidup ini. Selamat pagi and Do
your best for your loved ones.
0 comments :
Post a Comment