Wednesday, February 20, 2013

Renungan: Analogi Kematian

Aaah.. mata ini begitu sulit terpejam, lenyap di malam menghilangkan hari menyimpan kenangan hari ini. Tak seperti biasa, pukul 00.00 adalah waktu kedua kelopak mataku biasa bertemu satu sama lain namun tak jua untuk malam ini. Kamar yang bersih, sarung bantal dan guling yang wangi dan bersih, serta suasana yang nyaman juga tak memenangkan mataku untuk terkantuk sekalipun. Terus saja terjaga seperti saat sang mentari sedang menampakkan diri. Musik merayu-rayu mata ini untuk menyerah toh yang menyerah adalah si tuan, ya, aku menyerah menyerahkan mata ini untuk terpejam lelap untuk terbangun esok di pagi yang indah. Hingga tulisan ini lahir atas renungan yang sekelebat datang, segera kunyalakan laptop untuk menuangkan semua isi renungan ini agar bisa membekas dan bersuara sampai ke kita semua tidak hanya bersembunyi di bilik pikiran ini.

Ada momen yang tak dapat dituju ketika tak seperti saat ini, ada renungan dalam hati yang syahdu mengingatkan manisnya kenangan yang telah berlalu. Entah apa gerangan, tiba-tiba ingin saja menuliskan tulisan tentang pengandaian yang mungkin bisa jauh dari kenyataan namun ini bisa memberiku sendikit gambaran dan seolah-olah menerawang jauh ke depan keadaan yang serupa. 

Lantas renungan macam apa yang mengusikku hingga sepagi ini aku asik menatap layar dan jari-jemariku asik menari-nari di atas keyboard? Tentu saja ini begitu menyentuhku hingga aku tak mau menyianyiakan untuk mempersilakannya bersembunyi di balik pikiranku semata. Pertama, pertanyaanku tertuju untuk kita semua, “Pernahkan terbayang oleh kita semua, bagaimana rasanya atau bagaimana kira-kira kita saat telah tiada?”. Mungkin pertanyaan ini agak sedikit ngawur atau ngelantur tapi aku hanya ingin berbagi tentang analogi yang sederhana namun akan menyita pemikiran kita untuk singgah, yaitu tentang “Analogi Kematian”.

Kematian bagi sebagian kita memang terasa aneh bahkan angker, toh jangan kita sanksikan, kematian akan menghampiri siapapun di dunia ini. Salah satu yang pasti yang akan semua dari kita temui, hanya masalah waktu saja. Kematian bagi sebagian kita mungkin saja adalah akhir dari semuanya namun sebagian lagi mungkin berfikiran kematian adalah awal dari kehidupan baru namun berbeda. Berbeda? Lantas apa bedanya? Bedanya adalah tempat yang baru mungkin berbeda dengan yang lama, dunia yang kita tinggalkan. Teman yang baru mungkin saja berbeda dengan teman yang kita tinggalkan, apapun bisa berbeda dan bahkan bisa saja berbeda sama sekali. Namun hal yang kita tinggalkan adalah hal yang akan kita rindukan. Nah, mari kita mulai analogi sederhananya. Pernah mendengar orang insomnia? Atau sekedar seperti saya, yang begitu sulit memejamkan mata. Ya, saat semua dari kita tertidur dan istirahat tetapi kita dalam kesepian masih terjaga. Pertanyaan saya, apa yang Anda rasakan? Jawaban pertama yang muncul adalah, kesepian. Ya, kesepian, kita hanya bisa membayangkan akan kenangan seharian ke mana dan apa yang telah kita lakukan. Ingin sekali rasanya melakukannya lagi, ada rasa begitu rindu saat kesepian, rindu akan orang-orang di sekitar ktia, rindu akan keadaan di sekitar kita, rindu akan suasana yang membuat kita semakin rindu. Apalagi rindu dengan orang-orang terkasih kita.

Seolah-olah di saat itu kita adalah satu-satunya makhluk yang masih terjaga, tak ada kawan, tak ada orang-orang yang biasa kita temui. Sekali lagi, kesepian dan rindu. Nah, kira-kira saat kita ditangisi di saat kematian kita, saat orang-orang terkasih kita meneteskan air mata tiada henti hingga di peristirahatan terakhir ktia, dan kita hanya bisa melihat tanpa bisa mengubah keadaan. Mereka mengenang kita, mereka menceritakan kisah-kisah kita yang ada baik kadang juga pahit, mereka terinspirasi oleh kita, mereka menangis tak kala mengenang kita. Kita hanya bisa melihatnya, tanpa bisa mengubah apa pun, hanya bisa memeluk mereka dengan tangisan pula, dengan ikut mengenang kisah-kisah manis mau pun pahit kita.

Lambat laun kita akan mereka akan membaik, tidak lagi mengenang kita sesering saat kita baru menginggalkan mereka. Mereka telah kembali ke kehidupan normal mereka, tawa dan canda telah sedikit mulai tersungging di bibir mereka, di saat itulah kita mulai merasa amat kesepian. Kesepian yang panjang, mungkin tiada akhir. Ibaratkan opera, melihat mereka menangis di awal membuat kita ikut menangis, lalu scene demi scene pun berganti, kisah opera berubah jadi tawa dan kita ibarat kan ada di bangku penonton yang tak bisa mengubah skenario opera tersebut.

Memang kematian bisa mengingatkan kita betapa Tuhan telah memberi kita waktu dan kesempatan untuk menangis dan tertawa bersama orang-orang yang kita kasihi, tanpa hanya bisa membisu tak bisa berlaku. Mungkin Tuhan akan mengirimkan renungan ini ke relung masing-masing dari kita untuk lebih mensyukuri betapa berharganya waktu yang telah kita miliki. Mulai dari sekarang, marilah kita gunakan kesempatan dan waktu ini dengan mengubah tangis orang-orang yang kita kasihi dan sayangi menjadi tawa yang tersemat abadi di raut-raut wajah yang merindukan itu hingga tiba saat kita tak bisa berbuat hal yang sama.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memprovokasi, tulisan ini hanyalah cucuran isi hati yang tersurat kata demi kata yang bisa hadir di tengah-tengah kita. Semoga renungan semacam ini menjadikan saya tertutama menjadi pribadi yang lebih bijak, tentunya untuk kita semua agar lebih memberi makna hidup ini. Selamat pagi  and Do your best for your loved ones.

0 comments :

Post a Comment