Thursday, January 12, 2012

Krisis Kepemimpinan

Krisis kepemimpinan? Ya, saat ini kita mengalami yang namanya krisis kepemimpinan. Secara etimologi pemimpin itu terdiri dari kata dasar “Pimpin” yang ditambah prefix “Pe” yang berarti orang yang memimpin (Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pemimpin). Tentu saja makna dari arti secara etimologis tersebut tidak berhenti sampai di sana. Ada makna yang luas jika kita berbicara tentang pemimpin. Pemimpin itu ialah orang yang kita tauladani dan tiru sebagai guru kita. Pemimpin itu melayani bukan dilayani. Pemimpin itu mengalah bukan melawan. Pemimpin itu mendengarkan bukan mendikte.

Saat ini hampir sukar menemukan sosok pemimpin sejati. Para pemimpin sekarang tidak lagi menghayati arti dan makna dari kata “Pemimpin” itu sendiri. Kekuasaan yang ia dapat disalahartikan sebagai kekuatan untuk menguasai bukan lagi digunakan untuk mengabdi dan melayani. Kekuasaan tentu akan mudah mendapatkan apa yang ia mau, salah satunya adalah materi. Nah, kalau sudah kekuasaan dan materi (red: uang) digengaman maka dunia ini serasa miliknya yang bisa ia pengaruhi dan otak-atik. Sungguh mengerikan bukan?

Memimpin sekarang ini bukan lagi dilakukan dengan tulus untuk kepentingan masyarakat tetapi lebih untuk mencari kekuasaan dan materi. Bahkan rakyat saat ini harus menelan pil pahit karena mendapati para pemimpinnya asik dengan kepentingannya sendiri. Seharusnya rakyat adalah Tuan yang harus dilayani oleh pemimpin karena kalau tidak ada rakyat lantas siapa yang mau dipimpin dan itu berarti tidak diperlukan pemimpin. Maka dari itu pemimpin itu lahir dari adanya rakyat tapi sayangnya rakyat hanya bisa memimpikan kondisi di mana mereka seharusnya sebagai Tuan. Yang terjadi dewasa ini adalah rakyat adalah sang follower sejati yang harus ikut apa kata pemimpinnya.

Jika saja kita semua kembali lagi ke makna yang saya uraikan di atas bahwa pemimpin itu adalah melayani bukan dilayani tentu keadaannya tidak seperti sekarang ini—krisis kepemimpinan. Maka jangan salahkan rakyat jika menjadi cederung skeptis dan menjadi apatis. Sudah terlalu sering rakyat diperlalat jika pemimpin hendak memperoleh kursinya. Janji manis tentu bukan barang yang asing untuk memikat hati rakyat tapi ketika sudah duduk di atas lupa akan janji itu, lupa akan siapa yang telah membuat ia seperti sekarang, lupa janji manisnya.

Akankah semua yang memimpin kita seperti itu? Bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab Saudaraku. Semoga saja ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin yang benar-benar ingin mengabdikan dirinya untuk Bangsa dan Negara kita yang menuju menjadi Negara maju (mudah-mudahan). Tujuan memimpin bukan lagi kekuasaan dan materi melainkan untuk perbaikan besama. Kepentingan rakyat jauh lebih penting dari kepentingan sendiri. Bandingkan rakyat yang jumlahnya ratusan juta dengan pribadi, tentu kepentingan orang banyaklah yang lebih penting.

Lahirnya para pemimpin-pemimpin tersebut bukan perkara yang mudah dan tidak jatuh dari langit melainkan memerlukan proses. Proses? Ya, proses yang baik akan membentuk pribadi-pribadi yang baik dan kelak siap untuk memimpin kita semua.

Bagi saya pemipin itu tidak melulu ia yang tampil di depan tapi lebih dari itu kita sendiri ialah pemimpin diri kita sendiri. Selain pempimpin diri sendiri kita juga pemimpin yang ada di balik suksesnya pemimpin di depan—pemimpin di belakang. Bayangkan jika kita tidak mendukung dan mengikuti apa yang pemimpin kita ucapkan? Akankah pemimpin yang di depan berhasil? Tentu tidak. Maka dari itu kita semua adalah pemimpin. Asahlah jiwa pemimpin kita, jiwa pemimpin ialah siap memimpin (di depan) dan siap dipimpin (di belakang).

Kalau kita mengingat uraian di atas, pemimpin yang cenderung mengejar kekuasaan dan materi tidak akan mendapat kenikmatan memimpin. Ia akan selalu merasa kurang dan kurang serta ia akan selalau dihantui rasa kecemasan oleh lawan-lawan politiknya. Lain halnya dengan pemimpin yang memang ingin membaktikan dirinya untuk masyarakat, ia akan memiliki pemikiran bahwa jika ia dilengserkan berarti ia sudah tidak layak memimpin dan ada yang lebih baik dari dirinya karena pada dasarnya ia memimpin hanya mengabdi dan tidak menginginkan kekuasaan dan materi. Boleh dibilang ia memimpin dengan tanpa beban dan benar-benar berfokus pada kepentingan rakyat bukan dirinya pribadi.

Pemikiran yang demikian akan tumbuh dan lahir serta berkembang  jika dari sekarang kita memiliki prinsip hidup yang sederhana. Sederhana? Kok bisa? Ya tentu saja, jika kita sudah membiasakan hidup sederhana maka tidak ada hal yang rakus yang ingin kita capai. Kita akan merasa cukup dan semua energi kita akan tercurakan untuk pengabdian. Ingat kita semua adalah pemimpin! Mulai dari sekarang siapkan diri kita sebaik mungkin untuk menjadi pemimpin di depan atau pun di belakang.

Salam Perubahan.....

0 comments :

Post a Comment