Sunday, September 4, 2011

Jakarta dan Kota Besar Menjajikan Mimpi?

“Wah kamu hebat ya, pulang dari Jakarta”
Kalimat itulah yang jadi pendamping yang senantiasa dilontarkan oleh orang-orang di kampung si A. Mereka menganggap hidup di Jakarta itu enak dan menjajikan. Memang ibu kota, Jakarta, dari tahun ke tahun menjadi incaran peduduk desa yang hendak mengadu nasib ke ibu kota. Alih-alih ingin seperti si A, tanpa keahlian yang menjamin bisa bertahan di ibu kota, nekat berangkat demi asa yang lebih baik. Fenomena ini kita saksikan setiap selesai lebaran. Para pemudik kembali dari kampung halaman bukannya berkurang malah bertambah banyak. Dan celakanya mereka mereka yang ingin menikmati hidup di Jakarta, pergi tanpa keahlian yang memadai. Kalau sudah begini, mereka hanya akan menjadi beban Pemerintah DKI maupun Pemerintah Pusat.

Saat ini penduduk Jakarta sudah mencapai 9 jutaan, ditambah lagi pemudik yang membawa sanak keluarganya dengan harapan bisa mencari kehidupan yang lebih layak tanpa menghiraukan skill dan keahlian yang dimiliki. Tidak ada yang menyalahkan memang, semua orang berhak untuk pergi ke kota untuk mencari penghidupan dengan catatan mereka mempunyai kemampuan untuk dapat menghidupi diri mereka sendiri. Jika hanya bermodalkan nekat dari kampung pergi ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya, maka tak mengherankan bukannya hidup enak malah beratnya hidup di Jakarta yang mereka alami.

Hiruk-pikuk kota metro politan memang menjadi magnet bagi orang-orang yang ingin mengubah kehidupannya. Mereka menganggap, di Jakarta banyak tersedia lapangan pekerjaan bagi mereka. Namun kenyataannya, dengan kemampuan seadanya bermodalkan nekat mereka hanya akan merasakan pedih bukan mimpi yang mereka inginkan dari kampung. Pemerintah kota-kota besar pun dibuat repot oleh fenomena ini, berbagai tindakan dilakukan demi mencegah membludaknya penduduk di kota besar. Mulai dari pemeriksaan KTP di setiap perbatasan memasuki daerah kota, sampai razia di permukiman-permukiman yang diduga banyak pendatang yang tidak jelas identitas dan maksud datang ke kota.

Mereka yang datang tidak saja atas keinginan sendiri tetapi ada memang yang sengaja diorganisir oleh oknum tertentu yang akan memanfaatkan mereka dijadikan pengemis di pinggir jalan. Inilah pemandangan yang kian hari semakin banyak pengemis di jalanan, mulai dari yang biasa-biasa saja sampai membawa anak segala. Beberapa di antara mereka bekerja atas organisir oknum ini tadi, mereka harus menyetor sebagian hasil keringat mereka sebagai balasannya mereka diberi tempat tinggal dan perlindungan. Sungguh miris dan menyedihkan memang.

Di tengah deru pembangunan kota yang beranjak menjadi kota maju, mereka yang datang ke kota besar tanpa keahlian yang memadai memang akan terpinggirkan. Permukiman kumuh misalnya di bantaran sungai menjadi tempat tinggal mereka, ada juga yang terpaksa tinggal di bedeng-bedeng dekat dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Inilah harga yang harus mereka bayar atas kenekatan datang ke kota. Contoh yang sangat dekat dengan arah pembahasan ini adalah di Jakarta. Maka ungkapan-ungkapan “Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri” saya rasa lahir dari keadaan yang seperti ini. Keadaan ekonomi yang sulit, ketiadaan pekerjaan mendorong mereka melakukan tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Salahkah mereka? Tentu kita tidak dapat menghakimi mereka sebelah pihak.

Keinginan pendatang untuk mengadu nasib di Jakarta dan kota besar selain dipicu oleh rekan mereka yang pulang ke kampung halaman yang mereka nilai berhasil, juga disebabkan oleh provokasi televisi. Beberapa tanyangan televisi saya amati menyajikan cerita orang-orang yang dulunya datang ke Jakarta dengan modal nekat dan ternyata berhasil. Contohnya bebeapa publik figur yang menghiasi layar kaca yang menjadi inspirator mereka. Namun, kalau kita membalik itu semua, itu hanya terjadi beberapa dari begitu banyaknya pendatang. Mereka tidak hanya nekat datang ke Jakarta namun mereka mempunyai kegigihan seperti baja, mereka berkeyakinan akan berhasil dan ternyata memang berhasil.

Sayangnya mereka yang terinspirasi salah mengartikan tanyangan yang mereka saksikan, mereka hanya melihat keberhasilanya dan mengabaikan pedihnya menggapai sukses. Terlebih dengan skill yang ala kadarnya. Logikanya sederhana, jika kita hanya memiliki skill yang banyak dimiliki orang lain di tempat kita, tidak usah datang ke Jakarta kita pun tahu kalau kita akan sangat bersaing bekerja di bidang yang sama. Kalau para pendatang yang datang ke Jakarta semua seperti ini, walhasil kita akan sia-sia saja datang karena Jakarta telah diisi oleh orang-orang yang mempunyai skill yang lebih baik dari kita.

Ini merupakan permasalahan bangsa, permasalahan yang harus kita pikirkan cara penyelesaiannya. Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk membendung  para pendatang kota besar. Tapi dengan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan dilaksanakan oleh seluruh perangkat pemerintahan mulai dari teratas hingga jajaran paling bawah, saya pribadi berkeyakinan tidak hanya di kota besar yang dapat menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Di tempat kita pun dapat disulap menjadi magnet yang akan digandrungi oleh masyarakat desa.

Semoga dengan membludaknya penduduk di kota besar akan merangsang penyelesaian kreatif pemerintah, salah satunya dengan pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan sektor usaha mikro dan menengah, dan masih banyak lagi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mensejahterakan rakyat. Namun, hal itu akan menjadi wacana semata jika tidak didukung oleh semua kalangan. Kita semua harus bahu-membahu menyelesaikan permasalah bangsa ini, yang datang dari kota maka hendaknya disadarkanlah mereka yang berkeinginan mengikuti jejak mereka, jelaskan kepada mereka dampak dan apa yang akan mereka alami jika pergi tanpa keahlian. Dengan begitu saya rasa sedikit demi sedikit permasalah ini akan berangsur berkurang. Semoga.

0 comments :

Post a Comment